AL-HALLAJ
Oleh Kang Kolis
C. Ajaran Al Hallaj
Ajaran al-Hallaj yang terpenting
adalah al-hulul, haqiqatul muhammadiyah, dan wahdatul adyan. Pemikiran orang terhadapnya bermacam-macam, ada yang bersimpati dan ada pula yang antipati. Yang jelas, al-Hallaj adalah sosok historis, benar-benar telah hidup dalam sejarah, dihukum mati pada tahun 922 M. dengan tudingan atas pernyataannya--seperti--“Ana al-Haqq”, kritiknya terhadap ibadah haji (tidak wajib), hubungannya yang erat dengan gerakan qaramithah, ditambah lagi dengan sikap para pengikutnya yang meyakini al-Hallaj mempunyai sifat ketuhanan. Walaupun besar kemungkinan ada tendensi politis yang mengitarinya.
Hamka menyatakan bahwa:
Intisari ajarannya telah dinyatakan, kadang-kadang berupa syair dan kadang-kadang berupa natsar (Prosa), dalam susunan kata-kata yang mendalam di sekeliling tiga perkara:
1. Hulul, yaitu ketuhanan (Lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut).
2. Al Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaraannyalah seluruh alam ini dijadikan.
3. Wahdatul Adyan, kesatuan segala agama.
Menurut ajaran beliau bilamana batin seorang insani telah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, akan naiklah tingkat hidupnya itu dari suatu maqam ke maqam yang lebih tinggi, misalnya Muslim, Mu’min, Salihin, Muqarrabin. Muqarrabin artinya orang yang paling dekat kepada Tuhan. Di atas dari tingkat Muqarrabin itu, sehingga bersatu dengan Tuhan. Tidak dapat lagi dibedakan atau dipisahkan di antara Asyik dengan Ma’syuknya. Apabila ketuhanan itu telah menjelma di dalam dirinya, maka tidak ada lagi kehendaknya yang berlaku, melainkan kehendak Allah. “Ruh Allah” telah meliputi dirinya, sebagaimana yang telah meliputi Isa anak Maryam. Maka apa yang dikehendakinya, akan terjadi.[9]
Berikut akan digambarkan ajaran-ajaran Al Hallaj, yaitu:
1. Al Hulul
Nicholson menyebutkan bahwa al-Hallaj mengambil konsep al-Hulul dari ibarat-ibarat lama. Pada orang-orang Nasrani Syria, konsep itu dipakai oleh mereka untuk menunjukkan bahwa dalam diri Kristus terdapat dua sifat (nature) yaitu sifat manusia dan sifat Tuhan, selanjutnya dipergunakan oleh al-Hallaj untuk melukiskan bahwa diri manusia adalah persatuan (union) dari sifat lahut (ketuhanan) dan sifat nasut (kemanusiaan)
Harun Nasution mengutip keterangan Abu Nasr al Tusi dalam al-Luma (اللمع) menyatakan bahwa hulul ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan, di dalam teks arabnya:
إن الله اصطفى أجساما حل فيها بمعانى الربوبية وأزال عنها معانى البشرية
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat:
واذ قلنا للملئكة اسجدوا لادم فسجدوا الا ابليس أبى واستكبر وكان من الكفرين. {البقرة: 34}
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah; 34).
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam, karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan.[10]
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat dirinya sendiri (تجلى الحق لنفسه). dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya (شاهد سبحات ذاته فى ذاته). Allah melihat kepada zat-Nya dan Iapun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (من العدم ex nihilo) bentuk (copy) dari diri-Nya (صورة من نفسه) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam (صورة من نفسه). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya
(وكان من حيث ظهور الحق بصورته فيه وبه هو هو)[11]
Teori di atas tampak dalam syairnya:
سبحان من أظهر ناسوته # سرسنا لاهوته الثاقب
ثم بدا لخلقة ظاهرا # قى صورة الأكل والشارب
Artinya: “Maha Suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang”.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”. [12]
Melalui syair di atas, tampaknya Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa.[13]
Oleh karena itu Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya:
مزجت روحك في روحى كما # تمزج الخمرة بالماء الزلال
فإذا مسك شيئ مسنى # فإذاً انت أنا فى كل حال
أنا من أهوى ومن أهوى أنا # نحن روحان حللنا بدنا
فإذا أبصرتنى أبصرته # واذا أبصرته أبصرتنا
Artinya: “Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, iapun menyentuhku,
dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku,
Aku adalah ia yang kucintai dan Ia yang kucintai adalah aku,
kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Ia,
dan jika engkau lihat Ia engkau lihat kami”.[14]
Berdasarkan syair di atas dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Hulul terjadi karena manusia mempunyai sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Sementara itu, Tuhan pun mempunyai sifat dasar ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Sifat dasar manusia lenyap (fana) sehingga tinggal (baqa) sifat lahutnya. Dalam kondisi semacam itu, Tuhan yang mempunyai sifat nasut (kemanusiaan), akan meraga sukma di dalam diri manusia yang bersifat lahut (ketuhanan). Dengan demikian, roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.[15]
Menurut Al Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun di lain waktu Al-Hallaj mengatakan: “Barangsiapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya”.[16]
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya:
أنا سر الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا
Artinya: “Aku adalah rahasia yang maha besar dan bukanlah yang maha benar itu aku,
aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.[17]
Hulul yang terjadi pada Al-Hallaj memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapnya sekedar terleburnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya:
“Air tidak dapat menjadi anggur # meskipun keduanya telah bercampur aduk”.
Bahwa sufi sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dapat dilihat dari ucapan Al-Hallaj berikut:
أنا سر الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا
Artinya: “Aku adalah rahasia Yang Maha Besar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah kami”.
Sebagai seorang sufi al-Hallaj dapat merasakan dan menghayati keesaan Tuhan, namun, karena dia tidak mampu menguasai dirinya, ia mengatakan sesuatu kata di luar kemampuannya. Kata-kata yang sering keluar itu justru sering tidak dimengerti oleh kalangan awam.
Sesuai dengan ajarannya, tatkala Al-Hallaj mengatakan انا الحق , bukanlah roh Al-Hallaj yang mengucapkan kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya.[18] Ucapan itu pada dasarnya adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah seorang sufi atas limpahan intuisi dari dalam relungnya yang dibarengi seruan aneh-aneh. Kondisi seperti ini bagi kalangan sufi disebut syathahat.
2. al-Hallaj tentang Nur Muhammad
Menurut al-Hallaj bahwa sejak azali Allah hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendiriannya itu, terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri tanpa kalam dan tanpa ada huruf. Ketika itu, Tuhan Yang Maha Suci hanya melihat ketinggian zat-Nya, Ia mencintai-Nya, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab bagi segala yang maujud. Yang maujud itu adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad merupakan landasan semua ilmu dan makrifat, sekaligus sebagai Nabi akhir zaman.
Selanjutnya, al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan daripadanya terpencar segala macam ilmu dan pengetahuan yang gaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh tempat dan waktu. Dari sini lahir kenabian dan kewalian.[19]
Beliaulah yang mula-mula sekali menyatakan bahwasanya kejadian alam ini pada mulanya ialah dari Haqiqatul Muhammadiyah, atau Nur Muhammad. Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Pendapat ini hampir sama dengan renungan ahli filsafat yang mengatakan bahwa mula terjadi ialah “Akal pertama”. Menurut Hallaj, Nabi Muhammad itu terjadi dari dua rupa. Rupa yang Qadim dan Azali. Pertama, dia telah terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada, dari padanya disauk segala ilmu dan ‘Irfan (30). Kedua, ialah ujudnya sebagai manusia, seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya yang sebagai manusia itu menempuh maut. Tetapi yang Qadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nur yang qadim itulah diambil segala Nur untuk menciptakan seluruh nabi, rasul, dan Aulia.[20]
“Dalam hal kejadian dialah yang awal, dalam hal kenabian, dialah yang akhir. Al Haqq adalah dengan dia, dan dengan dialah hakikat. Dia yang pertama dalam hubungan, dia yang akhir dalam kenabian, dan dialah yang batin dalam hakikat dan dialah yang lahir dalam ma’rifat”.
Pendeknya, Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam, dan pusat kesatuan Nubuwwat segala Nabi, dan nabi-nabi itu nubuwwatnya, ataupun dirinya hanyalah sebagian saja dari cahaya Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat, dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya.
“Cahaya segala kenabian bersumber dari Nur Muhammad. Tidaklah ada suatu cahaya yang lebih bercahaya dan lebih nyata, yang lebih qadim daripada cahaya qadim itu, yang mendahului cahaya beliau yang mulia. Kehendaknya mendahului segela kehendak, ujudnya mendahulu segala yang “Adam; (31) namanya mendahului akan qalam sendiri, karena dia telah terjadi sebelum terjadi apa yang terjadi”.[21]
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini Al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad itu sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi Al Hallaj, Isa Al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa Al Masih itu.[22]
3. Wahdatul Adyan, Kesatuan Segala Agama
Karena segala ilmu dan makrifat itu bersumber dari Nur Muhammad, maka pada dasarnya semua agama yang ada di dunia inipun berasal dari Nur Muhammad juga. Oleh sebab itu, hakekatnya semua agama juga bersumber dari Nur Muhammad dan dari Allah jua. Adapun adanya agama tertentu yang dianut oleh umat tertentu pada dasarnya hanya suatu fragmen Tuhan dalam menentukan episode dunia (takdir).
Nama agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi, dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja. Nama boleh berbeda, tetapi maksudnya satu. Segala agama adalah Allah, maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara beribadat bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan Allah. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah, tetapi perdalamlah pegangan dalam agama masing-masing.[23]
Dengan teori hulul dan insan Kamil itu tidak dapat lagi diberikan batas diri dan bahkan batas agama, ia berbicara tentang roh universal dan jiwa universal, serta kemanusiaan universal. Oleh karena itu, ia berbicara tentang agama-agama dalam kesatuan yang tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain dan dengan satu Tuhan untuk semuanya baik dahulu maupun sekarang. Pembatasan-pembatasan dalam ibadah pun ditolak oleh al- Hallaj seperti adanya Ka’bah sebagai pusat ibadah haji.
Demikianlah antara lain ajaran-ajaran tasawuf al-Hallaj yang diwarnai oleh tauhid dalam konsep hulul yang menjadi inti dari seluruh ajaran tasawufnya.[24]
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, Muhammad Abdul Hak, Sufisme and Shari’ah, a Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Efoort to Reform Sufism, The Islamic Foundation, London, 1986.
Anwar, Rosihan & Salihin Muhtar, Ilmu Tasawuf, CV. Putera Setia, Bandung, 2000.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1993.
Madkur, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Terj), Cet. I, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Mahmud, Abdulkadir, Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Falsafah Al-Mu’aridhah fi Al Qadim wa Al Hadits, Ha’iah Mishriyyah Al-’Ammah li Al Kitab, 1986.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan para Sufi, Persada, Jakarta, 1996.
Massignon, Louis, Hallaj, Miystic and Martyr, (Terj.) oleh Dewi Candraningrum dalam “Al-Hallaj sang Sufi Syahid”, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2000.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Sabur, Saleh Abdul, Tragedi Al Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976.
Tafzani, Abu Al Wafa Al Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Terj.) Ahmad rafi’i, Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985.
Yunus, Mahmud, Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam, Bina Cipta, Bandung, 1968.
[1]Drs. Rosihan Anwar, M.Ag., dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawuf, CV. Putaka Setia, Bandung, 200, h. 135.
[2]Prof. mahmud Yunus., et. al., Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam, Bina Cipta, Bandung, 1968, h. 131.
[10]Abdul Qadir Mahmud, Al Fikr Al-islami wa Al falsafah Al-Mu’aridhah fi Al Qadim waa Al Hadits, Ha’iah Al-Mishriyyah Al-’Ammah li Al-Kitab, 1986, h. 77-78.
[11]Prof. Dr. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 88.
[16]Abu Al-wafa’ Al Ghanimi Al taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi’;i Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, h. 125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar